Rabu, 15 Desember 2010

Maseral Pada BatuBara


MASERAL PADA BATUBARA
KLASIFIKASI MASERAL
Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau bagian tumbuhan menjadi tiga grup, yaitu :
1. Vitrinit
Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissue) seperti batang, akar, daun. Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara di indonesia (>80 %). Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit, namun lebih gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua hinggga abu-abu terang. Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat pembantubaraanya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warna akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasinya berada diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis 1,3 – 1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75 %.
2. Liptinit (Exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, gangang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinit lainya yang keluar dari proses pembantubaraan), suberinite (kulit kayu/serat gabus), flourinite (degradasi dari resinit), liptoderinit (detritus dari maseral liptinite lainya), alganitie (gangang) dan bituminite (degradasi dari material algae).
Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis : refletivitas rendah dan flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara pada tangk rendah sampai tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor 1998) dibawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukan warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinite mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedangkan kandungan volatile matter sekitar 66 %.
3. Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan liptinite tetapi dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara kelompok lainya.
Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas inertinit adalah reflektinitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresnse, kandungan hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile matter sekitar 22,9 %.


Untuk pengelompokan maseral yang digunakan adalah mengacu pada pengelompokan maseral berdasarkan Standart Australia (AS 2856-1986)(Tabel 3.1) untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral dalam presentase volume (%vol).
Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia
Group maseral
Sub group maseral
Type maseral
Vitrinite
Tellovitrinite
Textinite
Texto-ulminite
Eu – ulminite
Telocolinite
Detrovitrinite
Atrinite
Desinite
Desmocolinite
Gelovitrinite
Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Liptinite

Sporinite
Cutinite
Resinit
Suberinite
Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite
Alganite
Bituminite
Inertinite
Teloinertinite
Fusinite
Semifusinite
Scelorotinite
Detroinertinite
Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite
macrinite
Maseral menghasilkan materi yang mudah menguap (volattile matter). Materi ini banyak dihasilkan oleh liptinite yaitu sekitar 66 % sedangkan vitrinite menghasilkan 35,75 % dan inertinite menghasilkan 22,9 %
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA
Peranan maseral dalam analisis penetuan pengandapan batubara didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapanya.
Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Navale (1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinit, batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit, resinit dan inertinit.
Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara. Diessel (1992) memperkenalkan dua parameter utama dalam penertuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu:
1. TPI
TPI (Tissue Presevation Index) menyatakan perbandingan antara struktir jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang kecil.

Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang mengandung banyak seloluse (tanaman perdu), sedangkan tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya presentasi kehadiran tumbuhan-tumbuhan kayu dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya presentasi telovitrinit. Sementara itu bila harga TPI , maka maseral vitrinit akan disertai oleh kehadiran cutinit yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinit dan cutinit yang banyak dengan kandungan vitrinit yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serta tumbuhan perdu pada suatu lingkungan Marsh
2. GI
GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi.
Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI menunjukan tingkat oksidasi yang semakin besar.
Tingkat gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :
1. Menunjukan basah keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu.
2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung pada derajat keasaman rendah
3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia
Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas.
3.2.3 PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI
Salah satu parameter dalam pembentukan mire / lahan gambut (rheotophic, mesotropic dan ombrotopic) adalah kondisi pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Graoundwater Index) yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi / ion-ion yang ada pada air. Rheotropic mire menerima suplai air dari aliran tanah, air dari lingkungan dan air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotropic mire hanya akan menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotropic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi Fen, Swamp, dan Marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara mire dapat diistilahkan sebagai Bogs (Moore, 1987 dalam Calder 1991).
GWI merupakan rasio perbandingan antara jumlah tumbuhan yang tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan ini dapat menggaqmbarkan proses gelifikasi yang menyimpulkan tentang keadaan suplai air dan pH dari suatu lahan gambut / mire.
Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse – Braukman, 1979, Tallis, 1983, Moore, 1987 dalam Calder 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan maseral liptinite yang berasal dari lingkungan air (Calder, 1991)
             Dalam perhitungan GWI juga dimasukan parameter mineral matter selain maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula dari dominasi detrital masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (Rheotrophic, mesotrophic dan ombrotropic). (Cecil, C.B dalam Taylor, 1998)
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan menggunakan paramater kesamaan antar maseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukan dengan kandungan telovitrinit, fusinit dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit adalah maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinit, inertodetrinit dan liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alganite. Sementara sporanite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air.

KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA
Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk inorganik, dan organik. Sulfur inorganik banyak ditemui dalam bentuk senyawa sulfida ( piritik) dan sulfat. Sulfida organik adalah unsur atau senyawa sulfur yang terikat dalam rantai hidrokarbon material organik.
Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetic yang erat hubunganya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Mayers, 1982) dan juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968)
Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut dangkal, direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida, kemudian dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan mereduksi ferric iron (Fe3+) menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen sering kali menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfat (S0).
Horne et.al (1978) menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan kecepatan tinggi selama sedimentasi umumnya akan menghasilkan beragam geometri dan petrografi batubara, tetapi kandungan sulfurnya rendah. Apabila penurunan berjalan secara perlahan maka akan menghasilkan kemenerusan lapisan secara luas tapi kandungan sulfurnya tinggi.
Mansfield and Spackman (1968) menyatakan bahwa batubara dibawah pengaruh air laut mempunyai kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan yang di air tawar.
Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963, Naeval, 1996, Cohen 1983, Davies and Raymond, 1983, Casagrande 1987 dalam International Journal of Coal Geology, 1992). Sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat/air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan presentasi pirit rendah.
Dilingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 5 – 8 dan EH cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah dan umumnya cukup ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan dan mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada ait tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah (± <>
Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan yaitu :
a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1>ih banyak sulfur organik daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan floor lapisan batubara.
Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil 1979)
Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut skema yang menunjukan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara.
Ward (1984) menyebutkan sulfur dalam batubara meliputi sulfur sulfat, sulfida sulfur dan organic sulfur yang kesemuanya merupakan penjumlahan dalam total sulfur dalam analisa proksimat.
Kandungan sulfur dalam batubara terdiri :
1. Sulfur sulfat.
Senyawa yang tebentuk sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam batubara dan merupakan sumber belerang yang tidak dominan (<0,05%).>
2. Sulfur pirit
Sulfur yang terdapat dalam batubara dalam bentuk besi sulfida, muncul sebagai markasit atau pirit. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetrapi berbeda pada sistem kristalnya, pirit (isometrik) dan markasit (orthorombik) Taylor (1998). Diendapkan bersamaan/seumur dengan pembentukan batubara dan memiliki ukuran 0,5 – 40 mm. Berasal dari mineral-mineral tanah yang dilepaskan untuk tanaman, terutaman pada tanah dengan drainase terbatas, banyak terdapat pada rawa-rawa.
3. Sulfur organic
Sulfur yang terikat dengan senyawa organik pada struktur molekul hidrokarbon pada struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.
Unsur yang mempengaruhi kandungan sulfur:
1. Plant remains. Merupakan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat pada lapisan roof dan floor batubara. Berdasarkan pengamatan lapangan hadirnya plant remains diisi sulfur organik akan mempengaruhi nilai sulfur. Plant remains menaikan total sulfur betubara. Pada saat pembusukan sulfur tidak ikut membusuk dan tersisa hingga pada saat pembentukan batubara (Stach’s, 1982 vide Putrasakti 2007)
2. Penyebaran mineral pirit pada batubara
Kahdiran mineral pirit pada batubara sebagian dapat dihilangkan dengan mencuci karena pirit bercampur pada cleat sebagai markasit. Pengaruh pirit terhadap total sulfur jauh lebih besar dibandingkan pengaruh plant reamins terhadap jumlah total sulfur.
Menurut Caraccio (1977, vide Putrasakti, 2007) ada empat bentuk pirit dalam batubara, yaitu :
1. Euhedral pirit, butiran kasar >25 mikron
2. Replecment mengantikan mineral asli tumbuhan
3. Flaty, berupa lembaran mengisi cleat
4. Frambodial pirit. Berasal dari pengurangan sulfur oleh mikroba organisme yang dijumpai di lingkungan air laut hingga air payau dan tidak pada air tawar. Memiliki kenampakan fisik yang bulat.
               Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit dari hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi cleat karena kation – kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam batubara oleh aliran yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuck TD, dalam International Journal of Coal Geology, 1992)
Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan kristal euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukanya (Casagrande, 1987)
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh trangresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase trangresi (Cohen AD dalam Taylor 1998).
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatanya dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukanya berjalan lebih lambat dari lingkungan basah atau jenuh air (Cook, 1982)
Navael (1981), sulfur organik atau bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan aktivitas bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Deulfovibrio sedlfurican dan Clostridium nigrificans mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung sebagai floor / roof maupun sisipan.
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menertukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marine atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger dalam Mayers, 1982)
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan mucul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi-kisi air, disamping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat berekasi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. (Mayers, 1982)
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antaea H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam mementukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Mayers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974, Bein, 1990, Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000)
Bukti-bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesa (Nissenbaum & Kaplam, 1972; Casagrande, 1979; Kohnen, 1990 dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti dari isotop sulfur memperkuat hipotesa tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur 34S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk setelah proses presipitsi pirit (Kaplan, 1963, Price & Shieh, 1979, Francois, 1987, Raiswell, 1993 dalam Suits & Arthur, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar